Halusinitas

 

Ilustrasi by Bing image creator

Di era saat ini menghalu merupakan suatu kegiatan yang sering dilakukan oleh kaula muda dengan anggapan “ menghalu dulu gak sih!”. Ungkapan tersebut menjadi hal yang umum bahkan menjadi realitas di kehidupan sehari-hari. Menghalu bisa diartikan sebagai membayangkan sesuatu angan-angan dengan berharap apa yang kita inginkan segera tercapai.

Memang kita menginginkan harapan kita tercapai, lantas apa yang sudah kita kerjakan atau apa yang mungkin kita usahakan untuk membentuk realitas dari halu tersebut?

Pasalnya, menghalu memang proses membentuk realitas yang akan terjadi dengan dibantu oleh keniatan. Namun, apakah niat kita benar-benar niat? Atau semacam niat terhadap halu semata? Induvidu kita memang memiliki angan-angan yang berbeda-beda, entah itu harta, tahta, bahkan Wanita bagi kalangan Pria begitu sebaliknya.

 Mengapa manusia seringkali berlomba-lomba mengejar ketiga hal itu? Bukankah manusia sudah ditetapkan akan menjadi apa dia dikala esok. Coba kita bayangkan, Ketika kita mengejar harta apa yang akan kita gunakan untuk harta itu?

Bukankah akan digunakan untuk memiliki harta yang baru. Memang prespektif saya dapat berbeda dengan kalian, atau bahkan mungkin sama. Kita mengejar harta terkadang sampai lupa untuk apa harta itu kita kejar, darinya bisa jadi terdapat hak orang lain atau hak untuk makhluk hidup lainnya yang harus kita berikan.

Secara sadar atau tidak kita memang selalu berkaitan dengan makhluk lain, itu hal yang wajar kemanapun kamu menghindar pasti akan membutuhkanya. Semisal kamu sedang duduk dibawah pohon yang teduh sambil memakan bekal dari ibumu tadi pagi, lantas ada se-ekor Kucing liar menghampirimu.

Kamu tidak tau apakah Kucing tersebut sudah makan atau belum, kamu pun enggan mengasih bagian untuknya. Lantas sehabisnya kamu makan, kamu menemukan Kucing yang barusaja kau temui itu tergeletak tak bernyawa. Bukan kah jika kamu punya perasaan akan berkata “ seharusnya tadi kuberi kepada Kucing tersebut, walaupun sedikit” tetapi hal itu hanya menjadi penyesalan yang berlarut-larut.

Ilustrasi tadi menggambarkan bahwa entah itu kita sesame manusia ataupun kepada makhluk hidup lainnya, berikanlah walaupun sedikit dari apa yang kita miliki. Tidak usah kita hiraukan entah mereka memiliki banyak dari apa yang kita punya ataupun tidak asalkan ikhlas pemberian itu jau lebih bermakna ketimbang ditimbun untuk diri sendiri.  

Selanjutnya kita terkadang mengejar tahta atau dapat disebut dengan kedudukan, kehormatan, pengakuan atau yang lainnya. Memang penting bagi personal manusia, karnanya kita akan dikenal mendapatkan peronal branding dan mendapatkan nilai jual dari karya diri kita. Namun, apakah tahta itu apakah harus kita kejar? Apakah penting tahta untuk diri manusia?

Padahal manusia hanya berkedudukan sebagai hamba di hadapan Tuhan. Bisa kita lihat, perebutan kursi di dalam pemerintahan negara, yang saya lihat mereka merebutkan kursi-kursi kosong tersebut bukan dari kualitas mereka yang ingin mengisi bagian dari pemerintahan tersebut.

Melainkan tergiur dari upah yang didapat oleh kursi tersebut, yang katanya mewakili rakyat nyatanya kok malah menindas rakyat. Menindas dalam artian yang mereka tidak sadari, yang diatas semakin tinggi yang di bawah semakin kebawah dan akhirnya tidak ada jembatan yang mampu langsung didengar oleh kalangan atas.

Harapan masyarakat akan menjadi halusinitas belaka, mereka berharap ini itu tetapi apakah mereka akan mendengarnya? Kita sebagai masyarakat selalu taat membayar, mengeluarkan, bahkan memberi untuk negara. Lalu apakah negara melihat keluh kesah mereka? “bansos kan cukup untuk menyenangkan mereka?” ya cukup paling satu atau dua hari, setelahnya mereka akan mencari dan selalu mencari untuk membuat dapur mereka tetap menyala.

Yang sangat disayangkan, kita selalu mengikuti trend yang dari pusat, ekonomi kita mengikuti yang ada diatas. Bukankah uang 100 ribu waktu itu dapat membeli ini itu dan sekarang uang segitu hanya dapat mencukupi kebutuhan pokok selama satu hari.

Inilah yang menjadikanya halu antara pemerintah dan masyarakat, halu akan janji-janji para Pemimpin, halu akan kesejahteraan rakyat, halu akan hidup damai tanpa adanya perampasan tanah. Dari halu kita mengajarkan bahwa kenyataan kita bernegara hanya sebatas realitas semu, dari halu kita mengerti bahwa tanpa adanya realitas tidak ada kehidupan.

Dunia ini akan sunyi ketika semua orang hanya berhalu, maka marilah berhalu dan jadikan halu itu semangat untuk membentuk realitas. Ada yang terakhir Wanita, mungkin terkadang sering menjadi halu para pria untuk mendapatkan wanta. Seperti halnya terkadang kita menghalu untuk mendapatkan Wanita yang nampak pada smartphone kita, kita sambil rebahan dengan membayangkan hidup bersama gambar seperti manusia.

Apakah kita hidup memang pada ruang halusinitas saja? Dan kita nyaman didalamnya. Kebahagiaan manusia sudah ditentukan oleh prodak kapital yang serasa kita harus bahagia dengan cara mereka. Dan itu dikejar hingga banyak orang mengalami depresi bahkan membahayakan nyawanya sendiri demi hal itu.

Kita sering kali Ketika sedang sendirian atau bisa disebut jomblo, mencari pemandangan indah yang ada di sosial media. Cantik satu, kemudian cantik dua dan seterusnya. Mengapa demikian? Apakah kecantikan hanya sebatas halu yang kita lihat sosial media? Sehingga ketika bertatap muka secara langsung akan berubah prespektif kita kepada orang tersebut atas makna cantik sebelumnya.

Itulah halu yang tidak sesuai realitas, pada hal ini memang sangat marak diera sekarang. Jika dibandingkan dengan era orang tua kita, mereka menjalankan kehidupan dengan apa adanya tanpa manipulasi diri untuk dapat disebut cantik. Mereka bertatap muka saling mengenal antara lawan bicara, mereka bertemu jika rindu. Memang serasa asik jika kita balik ke masa itu, banyak makna yang terkandung dari setiap kehidupan.

 

Penulis: Wan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama